Setiap institusi pasti memiliki peraturan yang mengikat dan memaksa orang-orang di bawahnya untuk mematuhi peraturan tersebut. Biasanya ikatan tersebut terjadi ketika karyawan sudah menandatangani kontrak kerja setelah membaca baik-baik peraturan yang ada di institusi mereka. Lantas bagaimana bila karyawan melakukan kesalahan berat? Apakah ada argumentasi hukum untuk mengatasi permasalahan ini? Kali ini kita akan mengulik masalah pemutusan hubungan kerja (PHK) karena kesalahan yang berat yang dilakukan oleh karyawan.
Rupanya hal tersebut sudah diatur dalam UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 158 ayat 1 yang berbunyi:
“Pengusaha dapat memutuskan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh dengan alasan pekerja/buruh telah melakukan kesalahan berat sebagai berikut:

  1. melakukan penipuan, pencurian, atau penggelapan barang dan/atau uang milik perusahaan;
  2. memberikan keterangan palsu atau yang dipalsukan sehingga merugikan perusahaan;
  3. mabuk, meminum minuman keras yang memabukkan, memakai dan/atau mengedarkan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya di lingkungan kerja;
  4. melakukan perbuatan asusila atau perjudian di lingkungan kerja;
  5. menyerang, menganiaya, mengancam, atau mengintimidasi teman sekerja atau pengusaha di lingkungan kerja;
  6. membujuk teman sekerja atau pengusaha untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;
  7. dengan ceroboh atau sengaja merusak atau membiarkan dalam keadaan bahaya barang milik perusahaan yang menimbulkan kerugian bagi perusahaan;
  8. dengan ceroboh atau sengaja membiarkan teman sekerja atau pengusaha dalam keadaan bahaya di tempat kerja;
  9. membongkar atau membocorkan rahasia perusahaan yang seharusnya dirahasiakan kecuali untuk kepentingan negara; atau
  10. melakukan perbuatan lainnya di lingkungan perusahaan yang diancam pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.”

Namun kita tidak bisa dengan mudah menetapkan keputusan bahwa seorang karyawan tersebut melakukan pelanggaran berat sebelum memenuhi beberapa persyaratan sebagaimana diatur dalam ayat berikutnya (ayat 2) yang berbunyi:
?esalahan berat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus didukung dengan bukti sebagai berikut:

  1. pekerja/buruh tertangkap tangan;
  2. ada pengakuan dari pekerja/buruh yang bersangkutan; atau
  3. bukti lain berupa laporan kejadian yang dibuat oleh pihak yang berwenang di perusahaan yang bersangkutan dan didukung oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi.?/li>

Namun, rupanya UU ini menjadi bermasalah hingga terjadi pemeriksaan ulang berkali-kali untuk menguji pasal demi pasal karena dianggap berlaku tidak adil bagi karyawan. Beberapa kasus menyatakan bahwa perusahaan melakukan PHK kepada karyawannya dengan menggunakan pasal tersebut.
Akhirnya pada 29 Oktober 2004 pemerintah mengeluarkan Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor SE.13/MEN/SJ-HK/I/2005 tentang Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 12/PUU-I/2003 atas pernyataan tidak mengikat secara hukum ketentuan Pasal 158 ayat (1) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Artinya, pasal tersebut sudah tidak dapat digunakan lagi sebagai alasan perusahaan untuk melakukan PHK bagi karyawannya. Putusan MK tersebut, membawa akibat hukum tidak berlakunya Pasal 158 ayat (1) UU 13/2003 yang mengatur dasar PHK karena kesalahan berat. Sehingga, pekerja tidak dapat di-PHK sebelum adanya putusan dari pengadilan pidana yang telah berkekuatan hukum tetap.
Namun pada kenyataannya hingga tahun 2014 kemarin masih ada kasus yang dibawa ke pengadilan karena perusahaan masih menggunakan Pasal 158 ini untuk melakukan PHK kepada karyawan. Biasanya yang menimbulkan permasalahan hukum di kemudian hari adalah masalah pesangon yang perlu diberikan kepada karyawan yang menerima PHK karena melakukan kesalahan berat. Mari kita simak soal ini pada artikel lain dalam website ini.

Daftar gratis di Olymp Trade: