Biasanya, bank sentral secara tidak langsung meningkatkan jumlah peminjaman dan aktifitas ekonomi dengan cara memotong tingkat suku bunga. Ketika suku bunga sudah sangat rendah, sementara arus kredit masih terhambat serta banyak bank yang tidak mau mengucurkan kredit, maka bank sentral harus menggunakan cara lain. Satu-satunya cara adalah dengan memompa uang secara langsung ke pasar. Cara ini disebut dengan Quantitative easing atau dalam bahasa Indonesia kini dikenal dengan istilah ‘pelonggaran kuantitatif’.
Quantitative easing merupakan kebijakan pemerintah melalui bank sentral dengan mencetak uang baru untuk meningkatkan suplai uang yang beredar di pasar. Dengan uang baru tersebut, bank sentral membeli aset finansial seperti obligasi pemerintah dari institusi-institusi keuangan semisal bank komersial dan perusahaan asuransi. Obligasi yang telah dibeli tersebut kemudian dinaikkan nilainya sehingga lebih mahal untuk dibeli. Dengan cara demikian, obligasi menjadi investasi yang kurang menarik. Ini artinya, institusi keuangan yang mendapat sejumlah uang baru dapat menggunakannya untuk memberikan pinjaman kepada pelaku usaha maupun menanamkan modal di perusahaan lain. Dengan begini, maka jumlah uang akan membanjir di pasar sehingga mampu merangsang arus uang seiring dengan meningkatnya pembelanjaan. Quantitative easing menjadi solusi untuk meningkatkan suplai uang tanpa harus menurunkan suku bunga lebih rendah lagi.
Jepang dianggap sebagai negara pertama yang melakukan Quantitative easing modern. Dalam rentang tahun 2001 hingga 2006 cadangan mata uang Jepang ditingkat dari 5 triliun menjadi 25 triliun Yen oleh Bank of Japan (BoJ). BoJ melakukan pembelian besar-besaran saham maupun surat berharga untuk memudahkan pencapaian target dalam mempertahankan likuiditas moneter serta mengalirkan kredit dengan normal. Di tahun pertama penerapan, Yen melemah terhadap dollar Amerika. Indeks saham Nikkei turun 28 %. Selama 3 tahun berikutnya hingga tahun 2004, perekonomian Jepang beranjak stabil dan Yen menguat kembali. Kebijakan ini bisa mengatasi efek deflasi. Rasio angka GDP Jepang naik secara konsisten dalam periode tahun 2002 hingga 2007.
Sejak tahun 2009, Inggris juga melakukan quantitative easing . Bank of England menciptakan uang baru di neraca keuangannya. Namun, ini terjadi dalam bentuk elektronik, bukan uang fisik. Hingga kuartal kedua tahun 2013, kebijakan ini mampu memompa pertumbuhan ekonomi Inggris, lebih cepat daripada sebelumnya. GDP Inggris tumbuh 0,7 %, lebih tinggi dari proyeksi sebelumnya yang hanya 0,6 %.
Pada tahun yang sama dengan Inggris, Amerika Serikat juga menerapkan kebijakan ini. The Fed, bank sentral Amerika Serikat, pada awalnya meluncurkan program ini dalam rangka pemulihan pasar perumahan Amerika Serikat. Sejak diluncurkan pertama kali, kebijakan ini telah memasuki tahap ketiga. Baru-baru ini muncul isu bahwa kebijakan quantitative easing akan dipangkas. Isu penghentian quantitative easing oleh The Fed inilah yang dianggap sebagai salah satu sebab pokok melemahnya harga rupiah saat ini.
Secara empiris, kebijakan ini memiliki hasil yang berbeda-beda. Dalam kasus Jepang, kebijakan ini terbukti membawa hasil yang positif bagi pertumbuhan ekonomi dalam negeri. Dalam kasus Inggris, pada tahun 2013 juga meningkatkan pertumbuhan ekonomi. sedangkan untuk Amerika serikat, The Fed sampai harus meluncurkan program sampai tahap ketiga. Menurut ekonom Paul Krugman, tahap pertama dan kedua program ini tidak dapat membawa Amerika keluar dari beban utang dan defisit fiskal. Program ini menurut sebagian kalangan justru tidak efektif. Lain lagi halnya, dengan Zimbabwe yang oleh sebagian ahli termasuk pelaksana kebijakan Quantitative easing. Alih-alih pertumbuhan ekonomi, yang terjadi justru hiperinflasi.

Daftar gratis di Olymp Trade: